Keenam, Kementerian Perhubungan harus sudah menyiapkan pelabuhan cadangan sejak awal, mengingat data dan survei perkiraan jumlah pemudik sudah diperoleh. Kebijakan ini merupakan kesalahan fatal dari regulator karena harusnya sejak awal Kemenhub sudah paham bahwa kemampuan pelabuhan feri milik PT ASDP tidak mencukupi untuk menampung euforia mudik warga Sumatera yang ingin menggunakan jalan tol baru (setelah 2 tahun tidak mudik) karena mahalnya tiket pesawat dan langkanya penerbangan.
Ketujuh, ketidakmampuan dermaga PT ASDP terbukti hanya dapat menampung 60% dari total kapal ro-ro yang tersedia di Pelabuhan Merak sekitar 70-an kapal (data: Gapasdap). Keterlambatan kebijakan Kemenhub untuk penggunaan pelabuhan tambahan di luar milik ASDP, misalnya Pelabuhan yang dikelola PT Pelindo (Pelabuhan Ciwandan dan Pelabuhan Indah Kiat) cukup fatal. Kedua pelabuhan ini baru dilakukan setelah kemacetan mengular hingga Km 96-200 pada 30 April 2022.
Kedelapan, penyebab kemacetan lainnya adalah lambatnya Badan Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah VIII Propinsi Banten mengurus Surat Izin Berlayar (SIB). Keterlambatan SIB menyebabkan kapal yang hendak memuat kendaraan dan penumpang mengalami keterlambatan, padahal posisi kapal sudah siap beroperasi. Sebelumnya kewenangan SIB berada pada Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) di bawah naungan Ditjen Perhubungan Laut.
Kesembilan, dualisme pengelolaan angkutan penyeberangan dan laut membuat regulator kesulitan menangani krisis lebaran kali ini. Kita ketahui bahwa bisnis penyeberangan antara pulau/selat dikendalikan dibawah Ditjen Perhubungan Darat. Namun regulator yang mengatur pelayaran kapal adalah Ditjen Perhubungan Laut.