Cilegon, Lenteranews – Pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Cilegon menjadi sorotan setelah seorang warga Purwakarta, Supriyadi, mengungkapkan pengalaman pahit yang menimpa dirinya dan putranya Razka (3), Pada Minggu (30/11).
Kejadian bermula saat putranya bernama Razka berumur 3 tahun dibawa ke IGD RSUD Kota Cilegon sekitar pukul 19.00 WIB. Supriyadi, yang ingin putranya segera ditangani, memilih jalur umum untuk mempercepat proses pendaftaran.
Namun, alih-alih mendapatkan dokumen penanganan umum, staf pendaftaran justru memberikan dokumen BPJS saat diserahkan olehnya ke dokter jaga IGD menurut dokter jaga tersebut.
Kekecawaan Supriyadi memuncak saat menunggu kejelasan ruang rawat inap dan diagnosa. Sejak pukul 20.27 WIB, Supriyadi baru mendapatkan informasi mengenai ruangan dan diagnosa pada pukul 22.46 WIB, hampir dua setengah jam kemudian.
Meskipun dokumen pemeriksaan dan ruangan diklaim sudah lengkap, Supriyadi merasa informasi yang diberikan sangat tidak jelas.
“Informasinya harus menunggu balasan dari dokter spesialis. Padahal sudah dua jam lebih dan anak saya butuh kepastian. Ini tidak jelas dan membuat kami khawatir,” ungkap Supriyadi, Senin (1/12/2025).
Perlindungan Data Pribadi Dipertanyakan
Karena tidak mendapatkan kejelasan yang memadai, Supriyadi memutuskan untuk memindahkan buah hati kesayangannya ke rumah sakit lain. Saat proses perpindahan, ia diminta menandatangani surat dengan keterangan Nomor Induk Kependudukan (NIK) tertera di dalamnya.
Saat Supriyadi menanyakan kejelasan dan peruntukan dokumen yang memuat data pribadi tersebut, staf RSUD justru mengatakan bahwa dokumen itu adalah rahasia. Sikap ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai hak pasien atas informasi dan perlindungan data pribadi.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang berlaku, setiap individu berhak atas kerahasiaan dan informasi yang jelas mengenai data pribadinya. Rumah sakit, sebagai Pengendali Data, wajib memberikan informasi yang transparan kepada pasien atau keluarga (Subjek Data) mengenai tujuan penggunaan data, termasuk tanda tangan dan NIK. Penolakan ini berpotensi melanggar hak Subjek Data yang dijamin oleh UU tersebut.
