SERANG - Penularan Virus Covid 19 di Indonesia yang terbilang tinggi mengakibatkan tingkat kepanikan bagi masyarakat juga ikut tinggi. Stres yang disebabkan seperti kematian sejawat maupun kerabat dan juga Kabar tidak menyenangkan yang terus berdatangan berdampingan dengan informasi hoaks yang masif beredar yang justru semakin memperkeruh situasi.
Dosen yang yang ahli bidang klinis dan kesehatan mental , Tri Kurniati Ambarini, M.Psi, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) mengatakan rata-rata peserta menuliskan gejala stres yang mereka alami saat pandemi berupa pusing dan cemas. Sementara stresor atau stimulus yang memicu stres yang dialami peserta yaitu pekerjaan.
hasil survey tersebut, Lanjut Rini, bahwa pada usia produktif, stressor yang dialami seseorang cenderung bermula dari pekerjaan karena menurutnya, pekerjaan sangat menyita waktu dan tenaga.
Rini kemudian memberikan tips untuk seseorang yang mengalami stres. Pertama, menenangkan. Kedua, mengalihkan perhatian untuk sementara atau membantu menoleransi kesulitan atau kesusahan.
Kadar kesedihan masing-masing orang, menurut Rini berbeda. “Misalnya teman kita merasa sedih setelah kematian orang yang dicintai. Kita tidak perlu sad block dengan mengucapkan ‘udah engga perlu sedih’, karena artinya mereka (lingkungan, Red) menghargai arti kehilangan. Sama halnya dengan anak kecil yang kehilangan barang kemudian menangis,” katanya melansir laman unair.ac.id.
Lebih lanjut, ia mengatakan untuk mampu memberikan waktu kepada seseorang yang baru saja kehilangan. Kemudian mengajak melakukan aktivitas positif yang mereka sukai. Rini juga menekankan strategi saat marah, cara yang sehat ialah dengan menenangkan diri sebelum mengatakan sesuatu yang mungkin disesali.
Lantas, kapan seseorang perlu untuk mendatangi psikolog? Waktu yang tepat yaitu ditandai dengan sedih yang berlarut hingga penurunan fungsi otak yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Selain datang ke profesional, Rini juga merekomendasikan ke tempat lain.
“Jika tidak punya akses ke profesional tidak apa-apa. Pilih saja orang yang dianggap bisa memberikan energi positif. Selain itu bisa juga diarahkan ke hal-hal ibadah,” terangnya.
Lalu, hal yang bisa dilakukan sebagai orang pemberi energi positif yaitu mendengarkannya.
“Dengarkan apa yang mereka rasakan. Ketika orang stres hanya mau didengar. Sebetulnya mereka sudah tau apa yang akan dilakukan. Tetapi mereka butuh validasi atas apa yang akan dilakukannya dan bantu mengeluarkan emosi negatifnya,” jelas Rini.
Menyoal pandemi, Rini juga memberikan arahan bagi audiens yang sudah melakukan upaya untuk taat protokol kesehatan dan mengingatkan sekelilingnya, namun justru mendapat respons yang seakan bertolak belakang.
“Ada yang panic buying, ada yang tidak taat prokes dan lain-lain. Orang-orang punya cara masing-masing dalam menenangkan pandemi. Jangan-jangan, ketika kita mengingatkan makin menambah stressor bagi mereka. Jadi jika masih ada kesempatan ajak diskusi saja. Jika tidak bisa, maka hanya doa sebagai bentuk ikhtiarnya,” tutupnya.
(DENDF)