Serang, Lenteranews - Perdana Menteri China, Li Qiang, mengusulkan pembentukan organisasi untuk mendorong kerja sama global di bidang kecerdasan buatan (AI).
Hal itu menyusul Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang pada Rabu lalu mengumumkan rencana besar untuk meningkatkan ekspor teknologi AI ke negara-negara sekutu, guna menjaga keunggulan AS atas China dalam bidang ini.
Li Qiang mengatakan usulan tersebut dalam Konferensi Kecerdasan Buatan Dunia (World Artificial Intelligence Conference/WAIC) di Shanghai, bahwa China ingin membantu mengoordinasikan teknologi AI yang berkembang pesat secara global, dan membagikan kemajuan yang dicapai negaranya.
Li tidak secara eksplisit menyebut AS, namun tampaknya merujuk pada upaya Washington untuk menghambat kemajuan China dalam AI.
Dia memperingatkan bahwa teknologi ini berisiko menjadi "permainan eksklusif" milik segelintir negara dan perusahaan saja.
China, kata Li, ingin AI dapat dibagikan secara terbuka dan semua negara maupun perusahaan memiliki hak yang setara untuk menggunakannya. Dia juga menyampaikan bahwa Beijing bersedia berbagi pengalaman pengembangan dan produk AI-nya dengan negara lain, khususnya negara-negara di Global South.
Li juga menyinggung tantangan regulasi atas risiko AI yang semakin meningkat. Hambatan tersebut termasuk kurangnya pasokan chip AI dan pembatasan dalam pertukaran talenta.
"Secara umum, tata kelola AI global masih terfragmentasi. Terdapat perbedaan besar antarnegara, terutama dalam hal konsep regulasi dan aturan kelembagaan. Kita perlu memperkuat koordinasi guna membentuk kerangka tata kelola AI global yang memiliki konsensus luas secepat mungkin," ujarnya dilansir Channel News Asia, Sabtu (25/7/2025).
Konferensi tiga hari di Shanghai ini mempertemukan para pemimpin industri dan pembuat kebijakan di tengah meningkatnya kompetisi teknologi antara China dan Amerika Serikat, dua ekonomi terbesar dunia, di mana AI menjadi medan pertempuran utama.
Meski menghadapi berbagai pembatasan, China terus membuat terobosan dalam AI yang menarik perhatian ketat dari pejabat AS.
Wakil Menteri Luar Negeri China, Ma Zhaoxu, dalam sebuah diskusi meja bundar yang dihadiri perwakilan dari lebih dari 30 negara, termasuk Rusia, Afrika Selatan, Qatar, Korea Selatan, dan Jerman, mengatakan China ingin organisasi ini mendorong kerja sama pragmatis di bidang AI dan sedang mempertimbangkan untuk menempatkan markas besarnya di Shanghai.
Kementerian Luar Negeri China juga merilis rencana aksi daring untuk tata kelola AI global dengan mengundang pemerintah, organisasi internasional, perusahaan, dan lembaga riset untuk bekerja sama serta mendorong pertukaran internasional, termasuk melalui komunitas open-source lintas negara.
Konferensi AI yang disponsori pemerintah ini biasanya menarik pemain industri besar, pejabat pemerintah, peneliti, dan investor.
Pembicara pada hari Sabtu termasuk Anne Bouverot (utusan khusus Presiden Prancis untuk AI), ilmuwan komputer Geoffrey Hinton yang dikenal sebagai Bapak AI, dan mantan CEO Google Eric Schmidt.
CEO Tesla Elon Musk pada tahun-tahun sebelumnya rutin hadir secara langsung atau lewat video saat pembukaan, tahun ini tidak hadir sebagai pembicara.
Selain forum, konferensi ini juga menampilkan pameran di mana perusahaan-perusahaan mendemonstrasikan inovasi terbaru mereka.
Tahun ini, lebih dari 800 perusahaan berpartisipasi, menampilkan lebih dari 3.000 produk teknologi tinggi, 40 model AI bahasa, 50 perangkat berbasis AI, dan 60 robot cerdas.
Pameran ini didominasi oleh perusahaan-perusahaan asal China, termasuk raksasa teknologi seperti Huawei dan Alibaba, serta startup seperti Unitree, pembuat robot humanoid. Peserta dari Barat termasuk Tesla, Alphabet, dan Amazon.