Asosiasi Kontraktor Sebut System OSS Tidak Efektif

Ketua Asoasiasi Kontraktor Nasional (ASKONAS), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Belly Rudianto

SERANG - Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono diminta untuk melihat realitas lapangan perizinan di sektor konstruksi yang bukannya memudahkan malah makin menyulitkan.

Untuk diketahui pada Oktober lalu Menteri PUPR meluncurkan Online Single Submission (OSS) untuk operasionalisasi Lembaga Sertifikat Profesi (LSP) dan Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU).

Operasionalisasi ini merupakan amanat Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan turunannya yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang mendorong Pemerintah Pusat untuk menciptakan sistem perizinan terpadu.

"Sistem OSS ini memberikan kemudahan karena layanan semakin fleksibel, dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dengan jaminan kualitas yang didasarkan pada sistem terintegrasi dan terstandar” kata Basuki sebagaimana tertera dalam website Kementerian PUPR.

Ketua Asoasiasi Kontraktor Nasional (ASKONAS), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Belly Rudianto saat menjadi pembicara dalam Rapat Koordinasi dan Bimbingan teknis Proses Perizinan Berbasis Risiko dan LSBU di Yogyakarta, pekan ini, mengatakan bahwa kenyataan di lapangan justru berlangsung sebaliknya.

Pengurusan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) melalui LSP berbasis OSS ternyata justru sangat sulit dan berbelit. SKK ini adalah syarat untuk mengurus Sertifikat Badan Usaha (SBU) di LSBU juga melalui OSS.

“Nah baru mengurus SKK saja sudah rumit minta ampun. Bayangkan hanya ada 3 LSP untuk mengurusi 800 badan usaha konstruksi di DIY dan 16 ribuan di level nasional. Ampun Pak Menteri, ini bukannya transparansi tapi malah akan muncul banyak calo pengurusan SKK sampai SBU,” kata Belly dalam rilis pers yang diterima, Sabtu (22/1).

Sistem baru konsekuensi dari UU Cipta Kerja ini menurut Belly justru akan menghambat penciptaan kerja dan sebaliknya membuat macet kerja. Sebab badan usaha konstruksi yang gagal mengurus SKK maka tidak akan bisa mengikuti tender proyek baik swasta maupun pemerintah.

Kalau kemudian pemerintah memaksakan sistem ini berjalan maka yang mungkin terjadi adalah akal-akalan para calo untuk memenuhi persyaratan OSS bahkan mungkin terjadi kolusi antar banyak pihak.

ASKONAS DIY, dikatakan Belly mendorog pemerintah untuk mendeklarasikan sikap tegas anti calo demi keseteraan hak semua kontraktor nasional. Jangan sampai hanya kontraktor besar yang bisa mengurus seluruh prasyarat sedangkan kontraktor menengah kecil kesulitan dan terpaksa menggunakan jasa calo.

“Kalau kontraktor besar saja yang bisa mengurus ini, proyek menengah kecil siapa yang mau mengerjakan? Sekolah rusak, jembatan rusak, irigasi, mana mau kontraktor raksasa mengerjakannya? Lalu yang rugi siapa?” kata Belly.

Belly mengingatkan penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam rangka peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha yang dilakukan melalui pelaksanaan penerbitan perizinan berusaha secara lebih efektif dan sederhana; dan pengawasan kegiatan usaha yang transparan, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Efektif dan sederhana itu kuncinya, jangan berbelit. LSP di nasional cuma 3 ini salah satu contoh tidak efektif dan tidak sederhana. OSS tapi server down, ini namanya tidak dapat dipertanggungjawabkan,” pungkas Belly.

*Ib