Kabar Nelayan Bojonegara, Problem Pendangkalan Hingga Hilangnya Mata Pencaharian

SERANG - Puluhan Nelayan di Banten Utara tepatnya di Wilayah Bojonegara Kabupaten Serang mengeluh dengan kondisi Pangkalan yang memprihatinkan. Kondisi ini sudah terjadi sejak 6 tahun yang lalu, Namun tidak kunjung juga tersentuh oleh Pemerintah Daerah Provinsi Banten.

Iwan salah seorang warga Kampung Lumalang, Desa Bojonegara yang berprofesi sebagai Nelayan mengaku kesulitan dengan kondisi seperti saat ini. Jika berangkat melaut, ia harus mendorong kapalnya hinga ratusan meter ke permukaan laut agar kapalnya bisa melaju. Hal ini lantaran pangkalan yang dijadikan kapalnya sandar mengalami pendangkalan.

"Pedangkalan terjadi semenjak 2014. Sampe sekarang engga ada normalisasi," kata Iwan kepada LenteraNEWS, Jum'at (25/3/2022).

Tidak sampai disitu, Iwan bersama puluhan nelayan Bojonegara juga harus menanggung beban kerusakan kapalnya ketika akan sandar, karena kondisi pendangkalan tersebut.

Ironis, Kondisi Ikan di kawasan perairan Indonesia yang sangat melimpah tetapi dihadapkan dengan kondisi nelayan tradisional masih terkendala beragam hambatan.

Iwan pun mengenang tentang Kali Asin yang dulu menjadi Primadona Pangkalan. Tidak sedikit masyarakat yang hilir mudik ke pangkalan tersebut, hanya untuk meperebutkan hasil perjuangan tangkapan ikan para nelayan di Bojonegara.

"Kali asin dulu tempat paling rame, kita (Nelayan) tenang, karena kalo sudah sampe pangkalan (warga) banyak yang nunggu untuk beli ikan kita," pungkas Iwan.

Dengan kondisi lesuh iwan menyampaikan, kondisi saat ini memaksa rekan seprofesinya banyak yang memilih harus berhenti melaut, lantaran tidak bisa lagi bertahan dengan kondisi dan hambatan yang tak kunjung selesai.

Dari total 47 nelayan bojonegara, 12 orang lainnya terpaksa harus menjual kapalnya. Hal tersebut dilakukan karena terdesak ekonomi yang harus terpenuhi. Lantaran kondisi di perairan Bojonegara sudah tidak lagi bisa diharapkan.

"Total sekarang ada 47 nelayan sisa 35 nelayan karena yg 12 nelayan sudah menjual perahu nya akibat terhimpit ekonomi," jelas Iwan.

Tidak banyak yang memahami bahwa nelayan tradisional yang kerap melaut di samudera lepas sebenarnya disebut sebagai pahlawan perbatasan, meski tidak ada tanda jasa resmi sebagai bentuk penghargaan kepada mereka.

Kerap kali, para nelayan tradisional harus mendapatkan ancaman seperti dari kapal asing memiliki bobot lebih besar dan teknologi lebih canggih yang mengambil hasil ikan di Indonesia dan membawanya ke luar negeri.

Iwan pun berharap, ia bersama rekan seprofesinya yang sampai hari ini menggantungkan hidup pada ikan di wilayah itu mendapatkan perhatian dari dinas terkait, seperti yang dirasakan rekan-rekan nelayan di Banten Selatan.

"Kalo di Banten selatan dapet kapal bantuan dari kementerian, ya kami berharap juga sama mendapatkan itu. Kami juga ingin sejahtera. Hal kecil dulu aja, dinas kesini untuk melihat kondisi kita," harapnya.