Whisnu menjelaskan, modus operandi yang digunakan pelaku adalah melakukan penyalahgunaan pendistribusian pupuk bersubsidi dengan berbekal Sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompoktani (e-RDKK) yang terdaftar penerima fiktif bukan petani.
“Bahkan penerima fiktif itu sudah meninggal dunia,” ucap Whisnu.
Alokasi pupuk tersebut, lanjut Whisnu, didistribusikan ke pihak yang tidak berhak dengan harga Rp4.000 per kg di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp2.250 per kg untuk pupuk urea.
Whisnu mengungkapkan, kedua pelaku telah melakukan penyalahgunaan pendistribusian pupuk bersubsidi sejak 2020. Perbuatan keduanya menyebabkan alokasi pupuk tidak tepat sasaran.